Represif : Penguasa atau Rakyat

 
 
Polri sudah semakin represif. Masuk rumah ibadah asal nyereduk gak beretika. Merangsek masuk kampus. Kebebasan berpendapat di bungkam tak ubahnya gaya Orba. Mahasiswa di tangkap, demonstran di selkan. Rakyat yang berontak dengan kebijakan presiden di tembak mati. Yang terpenting kebijakan sang presiden berjalan bebas hambatan. Usia kepemimpinan Jokowi baru berumur jagung, namun sudah ada yang jadi tumbal kebijakan yang tidak pro rakyat. Hati kita pasti menjerit melihat kelakuan Polri memberangus demonstran, perlakuan terhadap mahasiswa tak ubahnya teroris dan penjahat kelas kakap.

Nurani mahasiswa tidak akan tinggal diam di saat ketidakadilan mendera rakyat. Ia semacam gerakan refleks membangunkan kesadaran intelektual mereka untuk memberontak, melawan kesewenang-wenangan penguasa tiran atas rakyatnya. Tapi yang jauh lebih menjerit sebenarnya adalah rakyat kecil. Rintihan dan isak tangis mereka tidak ada yang mendengar, kecuali diri mereka sendiri dan sang Pencipta. Hanya saja mereka tidak tau bagaimana cara melawan kebijakan yang tidak pro kepada mereka. Mereka tidak punya kemampuan mengolah vokal, membentang spanduk menolak kenaikan BBM dan kebijakan yang tidak  pro rakyat lainya. Karena memang sumber daya mereka sangat terbatas.

Rakyat kecil melabuhkan harapanya kepada pemimpin. Namun, harapan itu menjadi imginasi dan khayalan semu yang tidak akan menyelesaikan persoalan yang melilit hidup mereka. Kepada siapa lagi, kalau bukan mahasiswa menjadi tumpuan harapan mereka untuk melawan. Karena mereka sadar wakil rakyat yang mewakili mereka di parlemen juga sudah terkooptasi kepentingan. Presiden Jokowi mesti merevolusi mental aparat yang membabi buta yang menangkap dan menembak mahasiswa dan rakyat. Hem, atau jangan-jangan ini instruksi sang presiden untuk memuluskan kebijakanya agar bebas hambatan.

SUMBER : https://www.facebook.com/notes/

Media dan Perpolitikan Kita

 
Media punya andil besar dalam mengedukasi masyarakat. Peran yang sangat strategis itu menempatkan media sebagai salah satu fitur demokrasi setelah kekuasaan ekskutif, legislatif dan yudikatif. Ia semacam jembatan perantara antara penguasa dan rakyat. Keberaadaanya tidak hanya sebatas sarana komunikasi antara rakyat dan penguasa, tetapi lebih jauh dari itu sebagai sarana check and balances bagi pemerintahan. Media masa juga sebagai institusi penting dalam pranata demokrasi, sebagai media untuk mempublikasikan kebijakan pemerintah. Hal ini menuntut independensi media massa serta mampu menyajikan informasi secara objektif dan transparan.

Sebaliknya, media juga memiliki peran sentral dalam mengaburkan kebenaran di tengah masyarakat. Media yang terkooptasi kepentingan penguasa akan cendrung menyajikan informasi yang tidak transparan dan objektif. Biasanya daya kritis media yang sudah terkooptasi kepentingan akan lumpuh, karena keberadaanya dikendalikan dan akan menjadi corong  titah penguasa. Penguasa yang mampu mengendalikan media berpotensi otoriter dan represif. Karena tidak ada media yang mengkritisi kebijakanya yang tidak pro rakyat.

Polariasi politik pasca pilpres yang melahirkan kekuatan politik konservatif yang di wakili KMP dan kekuatan politik liberal yang di wakili KIH. Polariasi ini juga di ikuti oleh Media dalam setiap penyajian informasi. Media sudah kehilangan jati diri dan profesionalitasnya. Ia cendrung mengikuti arah angin perpolitikan nasional. Indikator-indikator tersebut menjelaskan kepada kita bahwa media sudah terkooptasi kepentingan politik. Dan media  sudah terlampau jauh dan terlibat aktif dalam praktek politik praktis. Parahnya, polariasi tersebut sampai kepada cara berpikir masyarakat dalam menyikapi setiap kebijakan penguasa.

Featured Post

“GURU ADALAH PETANI”

  “GURU ADALAH PETANI”  (Sebuah Refleksi dan Filosofi Ki Hajar Dewantara) Dmp,19-08-2022. Salam Sehat dan tetap semangat Bapak/Ibu Calon P...

oke